juventusjuventus

Kenapa Juventus Dalam Keadaan Kritis ? Juventus FC, raksasa Serie A yang biasa jadi penantang gelar, kini berada di ujung tanduk musim 2025/2026. Dengan kekalahan memalukan 0-2 dari Como pada 20 Oktober—tim promosi yang baru naik kelas—Bianconeri tersungkur ke posisi kelima klasemen dengan 12 poin dari enam laga, tertinggal enam poin dari pemuncak Inter Milan. Di Liga Champions, start buruk dengan hanya dua poin dari dua pertandingan membuat mimpi trofi Eropa terasa jauh. Di balik lapangan, badai finansial kembali mengamuk: Investigasi UEFA soal pelanggaran Financial Fair Play (FFP) sejak September, rugi bersih €58 juta di akhir Juni 2025, dan pergantian CEO Maurizio Scanavino yang mundur November nanti. Pelatih Igor Tudor, baru ditunjuk Maret lalu, kini di ujung tali—klub sudah lirik kandidat pengganti seperti Raffaele Palladino atau Luciano Spalletti. Apa yang bikin Juve ambruk seperti ini? Dari skuad tak sinkron hingga warisan skandal masa lalu, ini cerita krisis yang bikin fans geleng-geleng kepala.

Masalah Finansial Juventus yang Tak Kunjung Reda

Juventus memang tak asing dengan badai keuangan, tapi 2025 jadi puncaknya. Klub ini catat rugi €58 juta untuk tahun fiskal berakhir 30 Juni 2025—pertama sejak 2016/2017—karena pendapatan komersial dan tiket tak seimbang dengan biaya operasional. UEFA buka investigasi pada 18 September soal pelanggaran “football earnings rule” periode 2022-2025, yang batasi kerugian €60 juta per tiga tahun (bisa naik jadi €90 juta jika klub sehat finansial). Juve gagal penuhi empat kriteria UEFA: Ekuitas positif, rasio likuiditas cepat minimal satu, rasio utang berkelanjutan, dan status “going concern” tanpa risiko bangkrut. Akibatnya, potensi denda lebih dari €10 juta (sisa dari sanksi 2023) atau larangan daftar pemain di Eropa musim depan.

Ini bukan kasus baru. Warisan skandal plusvalenza (inflasi nilai transfer) pada 2023 bikin Juve dilarang ikut kompetisi Eropa setahun dan potong 15 poin di Serie A—meski poin itu dikembalikan sementara. Klub yang dikuasai keluarga Agnelli sejak seabad ini terpaksa berita olahraga suntik modal €15 juta dari Exor (perusahaan induk) Maret lalu, usai pecat Thiago Motta. CEO Scanavino, yang pimpin tiga tahun, mundur 7 November di tengah rapat pemegang saham. Tanpa keuntungan bersih sejak 2017, Juve kesulitan belanja besar—musim panas lalu, pengeluaran €100 juta untuk Kenan Yildiz dan Francisco Conceicao terasa berisiko. Cap gaji turun dari 90% pendapatan jadi 70% musim ini, bikin skuad bergantung talenta muda daripada bintang mahal. Singkatnya, finansial rapuh bikin Juve tak bisa bersaing dengan Inter atau Napoli yang lebih solid.

Penurunan Performa Tim Juventus di Lapangan

Di lapangan, Juventus seperti tim tanpa arah. Kekalahan 0-2 dari Como—di mana Nico Paz cetak gol dan assist—jadi pukulan telak, karena tim promosi itu main lebih lapar. Sebelumnya, seri 1-1 lawan Atalanta (27 September) dan imbang 2-2 lawan Villarreal di Liga Champions tunjukkan masalah dasar: Pertahanan bolong dan serangan mandul. Dari enam laga Serie A, Juve catat tiga menang, tiga seri—tak terkalahkan, tapi gol cuma sembilan, paling sedikit di lima besar. Di UCL, dua poin dari dua laga (seri lawan lawan kuat) bikin start buruk, beda jauh dari target lolos fase grup.

Masalah utama? Skuad tak seimbang. Midfield lemah setelah minim rekrutmen musim panas—Manuel Locatelli jadi tumpuan, tapi kurang kreatif. Serangan bergantung Yildiz (dua gol), tapi Conceicao dan lainnya tak konsisten. Pertahanan, meski solid secara statistik (hanya 13 tembakan tepat sasaran ke gawang), gampang kebobolan dari set-piece, seperti gol Como. Tudor, yang gantikan Motta Maret lalu, coba taktik 3-4-2-1 agresif, tapi hasilnya inkonsisten—tim sering kehilangan bola di lini tengah. Hasil buruk ini tak cuma soal skor; semangat tim terlihat redup, beda dari era Allegri yang minimal aman di papan atas. Fans di Allianz Stadium mulai frustrasi, dengan petisi online minta Tudor diganti sudah capai 50 ribu tanda tangan.

Tekanan Kepelatihan dan Manajemen Juventus

Igor Tudor jadi kambing hitam utama, tapi tekanan ini lebih dalam. Ditunjuk Maret 2025 usai Motta dipecat karena dua kekalahan beruntun, Tudor janjikan “reaksi segera”—tapi enam bulan kemudian, tim masih goyah. Kekalahan Como bikin klub pertimbangkan pemecatan sebelum jeda internasional Oktober. Nama kandidat sudah beredar: Palladino dari Monza, Spalletti (eks Napoli), Mancini, bahkan opsi asing. Tudor dikritik karena tak bisa maksimalkan skuad muda seperti Yildiz (18 tahun, bintang baru) dan tak adaptasi taktik lawan tim kecil yang main defensif.

Manajemen juga ikut andil. Direktur olahraga Cristiano Giuntoli, yang aman Maret lalu, kini dipertanyakan karena transfer musim panas kurang tepat—habiskan €100 juta tapi midfield tak diperkuat. Agnelli family, meski stabil, hadapi kritik karena lambat restrukturisasi pasca-skandal. CEO baru harus hadapi investigasi UEFA yang putuskan musim semi 2026, plus proyeksi kerugian 2025/2026. Tekanan ini bikin klub seperti kapal tanpa nahkoda: Fokus terpecah antara lapangan dan pengadilan, bikin performa merosot. Di Serie A kompetitif ini, dengan Inter dan Napoli on fire, Juve butuh perubahan radikal agar tak tenggelam lebih dalam.

Kesimpulan

Juventus dalam keadaan kritis karena badai sempurna: Finansial goyah dengan rugi kronis dan ancaman UEFA, performa lapangan inkonsisten yang bikin poin mandek, plus kepelatihan Tudor yang tak kunjung stabil. Dari warisan skandal hingga skuad muda yang belum matang, klub ini butuh injeksi energi—entah lewat pelatih baru atau restrukturisasi manajemen. Fans setia, dengan 8 juta pendukung nasional, pantas khawatir; tapi sejarah Juve penuh bangkit, seperti pasca-Calciopoli 2006. Musim dingin 2025 bisa jadi titik balik, asal Agnelli berani ambil langkah tegas. Yang pasti, tanpa perbaikan cepat, mimpi scudetto dan UCL bakal tinggal mimpi.

Baca Selengkapnya…

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *